Thursday, January 16, 2014

Tugas Softskill 2 - Etika Profesi

PELANGGARAN HUKUM BERAWAL DARI PELANGGARAN ETIKA


Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
            Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia. Menurutnya pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia, dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), etika adalah:
  • Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
  • Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
  • Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
          Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Salah satu aspek tersebut adalah aspek hukum.
         Hukum dan etika merupakan hal yang sering kita dengar dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kita menyimak ketiga hal tersebut, terdapat satu tujuan yang sama. Tujuan tersebut adalah untuk menciptakan kehidupan masyarakat harmonis dan humanis. Hukum dan etika timbul karena adanya interaksi antar manusia. Bila kita melihat lebih jauh tentang kedua hal tersebut, kita akan melihat keterkaitan yang sangat dekat. Kata kunci dari hukum dan etika ini adalah peraturan dan sanksi.
            Menurut Aristoteles, hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
Definisi “hukum” dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
  • peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
  • undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
  • patokan (kaidah, ketentuan).
  • keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis.
            Posisi etika di kehidupan sosial lebih tinggi dari hukum formal. Untuk menjaga etika ini maka muncul hukum formal. Namun, tidak bisa semua etika diwujudkan dalam hukum formal. Namun, hukum formal muncul dari etika. Karena tidak mempunyai hukuman yang mengikat, banyak pihak yang memilih melanggar etika daripada hukum formal. Dan yang terjadi, banyak orang yang lebih malu melanggar hukum formal daripada etika.
         Pelanggaran etika dianggap sebagai pelanggaran biasa atau common violations, bahkan banyak yang menganggap pelanggaran etika sebagai kebiasaan normal. Sementara itu, pelanggaran hukum formal dianggap sebagai pelanggaran luar biasa atau outstanding violations. Jika memang dilihat dari sanksinya memang akan terjadi seperti itu, namun jika dilihat dari tingkatan tentu bukan seperti itu. Etika mempunyai cakupan yang lebih luas daripada hukum formal.
          Berikut adalah beberapa kasus yang pernah terjadi terkait dengan pelanggaran hukum yang berawa dari pelanggaran etika beserta opini pribadi:
1. Kasus KAP Anderson dan Enron
Kasus KAP Arthur Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Opini: Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah dilanggar dalam kasus ini, yaitu padaprinsip pertama berupa pelanggaran tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada jasa professional seorang akuntan. Seorang akuntan seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan publik. KAP Arthur Andersen tidak dapat memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk kategoti The Big Five dan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan reputasi profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukan penyamaran data. Pelanggaran prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar dalam kasus ini. Hal ini sangat merugikan publik karena infornasi yang diterima publik adalah informasi yang tidak mengandung unsur kebenaran dengan kata lain telah terjadi tindak penipuan. Pelanggaran prinsip ketiga yaitu KAP Arthur Andesen juga melanggar prinsip standar teknis karena tidak melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
2. Pelanggaran Etika Ketua MK nonaktif Akil Mochtar
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan memecat Ketua MK nonaktif Akil Mochtar, Jumat 1 November 2013. Ia diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti melanggar kode etik hakim. Pelanggaran yang dilakukan oleh Akil tak hanya satu, namun bertumpuk.
Terkait dengan penahanan ketua MK nonaktif ini, dikarenakan beberapa pelanggaran etika dan hukum yang dilakukannya. Pertama terkait dugaan bersalah dalam penyelesaian sengketa Pilkada Banyuasin di Sumatera Selatan dan sejumlah perselisihan pilkada di daerah lain. Akil juga diduga menggunakan kewenangannya sebagai hakim untuk membagi perkara antara panelnya dengan panel lain.
Kedua, terkait rekening dan transaksi tak wajar yang dimiliki Akil. Ketiga, terkait narkotika yang dimiliki Akil. Akil diduga menyimpan narkotika, yakni tiga lintung ganja utuh dan satu bekas pakai, dua pil inex ungu dan hijau seperti yang diujaran Harjono. Keepat terkait hobi Akil pelesir ke luar negeri yang berdasarkan keterangan saksi, Akil Mochtar sering pergi ke luar negeri dengan keluarga ajudan dan sopir tanpa pemberitahuan pada Sekjen MK, termasuk ketika ke Singapura pada 21 September 2012,” ujar Harjono. Dan kelima Kelima, terkait kepemilikan mobil-mobil mewahnya yang berdasarkan surat keterangan Ditlantas Polda Metro Jaya kepemiliknanya tidak terdaftar di Ditlantas. Ada kesan mobil itu dimiliki secara tidak sah.
Opini: Akil Mochtar terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Atas semua kesalahan itu, ia juga terbukti melanggar prinsip kepantasan, kesopanan, integritas, dan independensi dengan melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan, dan melanggar kode etik hakim konstitusi. Atas kesalahannya tersebuat Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
3. Etika dinasti politik Atut
Sangat mencengangkan jika melihat dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah karena tercatat sembilan pejabat di lima daerah di Provinsi Banten masih mempunyai hubungan saudara dengan Ratu Atut.
Keluarga ikut menjabat memang tidak menyalahi aturan apalagi jika memang kompetensi bisa dipertanggungjawabkan. Namun banyaknya keluarga yang juga duduk sebagai pejabat “di wilayah sendiri” menimbulkan prasangka bahwa ada yang tidak benar dalam proses pemerintahannya. Kecurigaan pada bagaimana proses pemilihannya hingga untuk melanggengkan kekuasaan tentu menjadi kasak-kusuk yang lumrah.
Ditambah dengan kasus yang menjeratnya saat ini yaitu ia tersandung dugaan suap Pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK Pondok Bambu, Jakarta Timur. Penahanan ini dilakukan KPK agar Atut tidak mempengaruhi saksi-saksi dan dikhawatirkan menghilangkan barang bukti. Adapun pasal yang menjerat Ratu Atut adalah Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Opini: Atut sebagai pemuncak dinasti politiknya semestinya sadar bahwa akan lebih baik mengedepankan etika daripada hukum formal. Apalagi jika dilihat dari posisinya sebagai pimpinan tertinggi di wilayah Banten. Seorang pemimpin yang baik tentu tidak hanya dilihat dari keteraturannya menjalani hukum formal, namun tidak terlepas pula dari etika. Kepantasan dari dinasti politik Atut akan semakin diuji tidak hanya oleh masyarakat selain itu proses hukum pun tengah berjalan seiring dengan kasus suap yang menimpa adiknya, Tubagus Chaery Wardhana yang saat ini tengah disidik oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Sumber :
http://khairunnisafathin.wordpress.com/2014/01/14/pelanggaran-hukum-berawal-dari-pelanggaran-etika/

Wednesday, January 15, 2014

Tugas Softskill 1 - Etika Profesi

REVIEW JURNAL ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Nama : Nur Rachman I.E.W
NPM : 29210304
Kelas : 4EB05
Judul : Keterkaitan Faktor-faktor Organisasional, Individual, Konflik Peran, Perilaku Etis dan Kepuasan Kerja Akuntan Manajemen
Penulis : Muhammad Fakhri Husein
Institusi : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

ABSTRAK
            This research develops a model for the linkage of organizational factors (role model, understanding code of ethics, and organizational commitment), individual factor (moral principle) to role conflict, ethical behavior, and their consequences to job satisfaction of management accountants in Indonesia. Using purposive sampling, this research is supported by 119 respondents. The response rate is 23,8%.
            To get a comprehensive view on antecedents of ethical behavior and role conflicts and their consequences to job satisfaction, this research is supported by management accountant respondents. Measurement of model is performed in analysis in Structural Equation Modeling by Analysis of Moment Structure (AMOS). Some indicators of goodness of fit model are still unsatisfactory, but this research confirms some hypotheses of the previous researches. Understanding Code of Ethics, organizational commitment and role model influence significantly ethical behavior of management accountants. Meanwhile, moral principle does not influence significantly ethical behavior of management accountants.
            Role conflict is not influenced significantly by understanding code of ethics and moral principle, but it is influenced significantly by organizational commitment and role model. Management Accountant job satisfaction is influenced significantly by ethical behavior but role conflict doesn’t influence significantly management accountant job satisfaction.
Keywords : Organizational Factors, role model, code of ethics, organizational commitment, individual factors, moral principle, role conflict, ethics behavior, job satisfaction, management accountant

LATAR BELAKANG
            Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang ada saat ini melibatkan profesi akuntan. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya praktik-praktik profesi yang mengabaikan standar akuntansi bahkan etika. Perilaku tidak etis merupakan isu yang relevan bagi profesi akuntan saat ini.
            Di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan pemerintah. Beberapa pelanggaran yang terjadi yaitu publikasi (penawaran jasa tanpa permintaan, iklan surat kabar, pengedaran bulletin KAP), pelanggaran obyektivitas (mengecilkan penghasilan, memperbesar biaya suatu laporan keuangan), isu pengawas intern holding mempunyai KAP yang memeriksa perusahaan anak holding tersebut, pelanggaran hubungan rekan seprofesi, isu menerima klien yang ditolak KAP lain dan perang tarif.
            Masalah etika bagi perusahaan juga sangat menentukan karena dalam jangka panjang apabila perusahaan tidak concern dengan perilaku etis dalam bisnis maka kelangsungan usahanya akan terganggu. Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Dalam jangka pendek, mungkin akan meningkatkan keuntungan perusahaan tetapi untuk jangka panjang, akan merugikan perusahaan itu sendiri karena hilangnya kepercayaan pelanggan atau konsumen terhadap perusahaan tersebut.
            Di samping adanya masalah dari dalam profesi akuntan, tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah makin maraknya akuntan asing yang berpraktik di beberapa kota besar di Indonesia. Kesiapan yang menyangkut profesionalisme profesi mutlak diperlukan. Profesionalisme suatu profesi mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi tersebut, yaitu berkeahlian, berpengetahuan, dan berkarakter (Machfoedz 1997).
            Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggungjawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka. Analisis terhadap sikap etis dalam profesi akuntan menunjukkan bahwa akuntan mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis dalam profesi mereka (Finn et al. dalam Fatt, 1995). Dalam menjalankan tugas sebagai auditor, seorang akuntan sering dihadapkan pada berbagai macam dilema, baik menyangkut etika maupun sikap profesional dan independensinya (Leung 1998). Kesadaran etika dan sikap profesional memegang peran yang sangat besar bagi seorang akuntan (Louwers et al., 1997). Personal value seorang akuntan tercermin dari keputusan etika yang dibuatnya sedangkan komitmen terhadap profesi tercermin dari pengembangan nilai-nilai profesional pada setiap keputusan yang dilakukannya (Jeffrey dan Weatherholt, 1996).
            Menurut Kinicki dan Kreitner (2001) dan Hunt dan Vitell (1986), perilaku etis dan tidak etis adalah produk dari kombinasi yang rumit dari berbagai pengaruh. Individu mempunyai kombinasi unik dari karakterisik personalitas, nilai-nilai, prinsip-prinsip moral, pengalaman pribadi dengan penghargaan dan hukuman, sejarah hukuman kesalahan yang dilakukan (history of reinforcement), dan gender. Ada tiga sumber utama pengaruh atas harapan peran etis seseorang. Pertama adalah pengaruh budaya individu tersebut. Pengaruh budaya termasuk latar belakang keluarga, pendidikan, agama, media/hiburan. Kedua adalah pengaruh organisasi. Pengaruh organisasi dapat dalam bentuk kode etik, budaya organisasi, model peran (panutan), tekanan yang dirasakan untuk mencapai hasil, dan sistem penghargaan dan hukuman. Ketiga adalah pengaruh politik, hukum dan ekonomi. Beberapa bukti empiris sebelumnya telah menguji sebagian model di atas, seperti Bernardi et al. (1997), Eynon et al. (1997), Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994), Weeks et al.(1999), Cohen et al. (1998), Jones dan Hiltebeitel (1995).
            Di samping model pengaruh etis di atas, penelitian-penelitian lain juga mengaitkan faktor organisasional dan individual terhadap stres peran. Weick (dalam Rebele & Michaels 1990) menyatakan bahwa masalah stres merupakan faktor penting dari praktik akuntansi. Libby (dalam Rebele & Michaels, 1990) juga menyatakan bahwa konsep tentang stres menyediakan struktur dalam menganalisis berbagai masalah di bidang akuntansi. Beberapa studi empiris sebelumnya menunjukkan adanya keterkaitan antara faktor-faktor organisasional dan individual terhadap konflik peran. Contohnya adalah studi yang dilakukan oleh Behrman dan Perrault; Fry et al. (dalam Rebele dan Michaels, 1990), Sims dan Brinkman (2000), Koh dan Boo (2001), Yetmar dan Eastman (2000), Yetmar, Cooper dan Franks (1999), Kantor dan Weisberg (2002).
            Masalah keperilakuan etis dan konflik peran juga berhubungan dengan kepuasan kerja. Jika seseorang berperilaku etis, maka kepuasan kerjanya tinggi. Sedangkan jika konflik perannya rendah, maka kepuasan kerjanya tinggi. Studi yang dilakukan Koh dan Boo (2001), Yetmar dan Eastman (2000) membuktikan hal tersebut.
            Dari beberapa studi di atas, penelitian ini mengaitkan faktor-faktor organisasional, faktor individual, perilaku etis, konflik peran, dan kepuasan kerja. Penelitian ini menjadi menarik ketika masih sedikit yang membahas keterkaitan faktor-faktor di atas. Di Indonesia, penelitian tentang etika masih berfokus pada persepsi akuntan terhadap etika bisnis dan masih sedikit yang menguji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku etis akuntan, konflik peran dan hubungannya dengan kepuasan kerja. Beberapa penelitian yang menguji perilaku etis ini di antaranya adalah Ludigdo (1998), Harnovinsyah (2001), Fauzi (2001), Gani (2000), Winarna (2001), Suartana (2000), dan Adib (2001).

METODOLOGI PENELITIAN
1)      Sumber Data : Data Primer
2)      Teknik Pengumpulan Data : Kuesioner
3)      Objek Penelitian : Akuntan Manajemen di seluruh Indonesia
4)      Metode Sampling : Judgment Sampling
5)   Variabel : Kode Etik, Komitmen Organisasional, Model Peran, Perilaku Etis, Kepuasan Kerja, Konflik Peran,
6)      Hipotesis
  1. H1 : Pemahaman kode etik mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen
  2. H2 : Pemahaman kode etik mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen
  3. H3 : Komitmen organisasional mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen
  4. H4 : Komitmen organisasional mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen
  5. H5 : Prinsip moral mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen
  6. H6 : Prinsip moral mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen
  7. H7 : Model peran mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen
  8. H8 : Model peran mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen
  9. H9 : Perilaku etis mempengaruhi secara signifikan kepuasan kerja akuntan manajemen
  10. H10 : Konflik peran mempengaruhi secara signifikan kepuasan kerja akuntan manajemen

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Statistik Deskriptif
            Analisis dilakukan pada 119 jawaban responden yang memenuhi kriteria untuk diolah lebih lanjut. Statistik deskriptif disajikan dalam tabel 4. Berikut ini diuraikan hasil statistik deskriptif tersebut.
Pengukuran Model

            Model yang dianalisis mempunyai degree of freedom sebesar 11, berarti positif dan memenuhi salah satu syarat sebagai model yang fit. Chi-Square sebesar 183,870. Nilai The Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) adalah 0,365 dan berada diatas nilai yang dipersyaratkan yakni 0,08. Nilai GFI (Goodness of Fit Index) menunjukkan angka 0,648 berarti model ini didukung secara marginal walaupun dibawah nilai yang diharapkan 0,90. Sedangkan nilai AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) menunjukkan angka 0,105 jauh dibawah nilai yang dipersyaratkan sebesar 0,90.
            Nilai TLI (Tucker Lewis Index) adalah -0,343 dan dibawah nilai yang dipersyaratkan sebesar 0,90. Nilai RMR (Root Mean square Residual) nya adalah 0,124 cukup rendah sehingga dapat memenuhi kriteria model yang fit. Nilai NFI (Normed Fit Index) adalah 0,310 sehingga berada diatas nilai yang dipersyaratkan. Goodness of Fit model penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.

            Secara umum, model penelitian ini kurang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai ukuran indikasi model yang fit. Degree of Freedom dan RMR menunjukkan model yang fit, namun ukuran-ukuran lain yakni RMSEA, GFI, AGFI, TLI, dan NFI menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Untuk itu, peneliti mencoba mengembangkan model-model alternatif yang sekiranya dapat memenuhi kriteria model yang fit. Ada dua model alternatif yang peneliti ajukan. Model yang diajukan dimaksudkan untuk memperoleh model yang sekiranya lebih fit sesuai dengan variabel yang ada dalam penelitian ini. Model alternatif yang pertama ini menghubungkan antara variabel konflik peran dan perilaku etis. Peneliti menduga bahwa konflik peran mempengaruhi perilaku etis. Hal ini telah dibuktikan oleh Yetmar dan Eastman (2000) yang menguji pengaruh konflik peran terhadap perilaku etis. Hasilnya menunjukkan bahwa konflik peran akuntan pajak berpengaruh pada perilaku etisnya. Jika konflik perannya makin tinggi, maka perilaku etisnya makin rendah, begitu pula sebaliknya. Indikator pengukuran modelnya dapat dilihat pada tabel 6.
            Model alternatif yang kedua menghubungkan variabel konflik peran dan perilaku etis dan menghilangkan hubungan antara perilaku etis dan kepuasan kerja. Alasan peneliti mengajukan model ini karena adanya dua hasil penelitian yang belum menunjukkan arah yang seragam terhadap pola hubungan perilaku etis dan kepuasan kerja. Yetmar dan Eastman (2000) menyimpulkan bahwa kepuasan kerja mempengaruhi perilaku etis, sedangkan Koh dan Boo (2001) menyimpulkan bahwa perilaku etis mempengaruhi kepuasan kerja. Indikator pengukuran modelnya dapat dilihat pada tabel 7.


            Dengan melihat hasil fit model alternatif di atas, ternyata model alternatif yang peneliti ajukan tidak lebih baik.
Pengujian Hipotesis

            Model statistik yang digunakan untuk menguji masing-masing hipotesis adalah dengan menggunakan persamaan struktural dari AMOS (Analysis of Moment Structure). Indikator yang digunakan adalah nilai C.R. (Critical Ratio) pada Regression Weights dengan nilai minimum secara absolut 2 pada tingkat signifikansi 0,05. Tabel 8. menyajikan hasil analisis regresi dengan menggunakan AMOS.
            Berikut ini diuraikan hasil pengujian dan penjelasan dari setiap hipotesis.
1. Pengujian Hipotesis Pertama

            Hipotesis pertama menyatakan bahwa pemahaman kode etik mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio pada regression weights sebesar 3,302 menunjukkan pengaruh yang signifikan. Ini berarti bahwa pemahaman kode etik akuntan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku etis akuntan. Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa pemahaman kode etik tidak mempengaruhi perilaku etis akuntan manajemen ditolak. Penelitian ini konsisten dengan penelitian Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994). Akuntan akan berperilaku lebih etis jika memiliki pemahaman yang memadai tentang kode etik. Pemahaman yang lebih baik tentang kode etik akan membantu akuntan berperilaku yang lebih baik. Temuan penelitian ini juga berimplikasi pada pentingnya sosialisasi kode etik di kalangan akuntan manajemen.
2. Pengujian Hipotesis Kedua
            Hipotesis kedua yang diajukan adalah pemahaman kode etik tidak mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio dari uji statistik yang dilakukan menunjukkan skor 0,427 sehingga hipotesis 2 tidak didukung. Ini berarti bahwa pemahaman kode etik tidak mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen.
            Penelitian ini gagal mengkonfirmasi temuan Yetmar, Cooper dan Franks (1999) bahwa faktor kode etik merupakan salah satu faktor yang dapat membantu akuntan dalam mengatasi dilema atau konflik peran yang dialaminya. Tidak berpengaruhnya faktor pemahaman kode etik terhadap konflik peran ini menurut dugaan peneliti karena boleh jadi ketika akuntan manajemen merasakan konflik peran, maka ia tidak memperhatikan kode etik profesinya. Faktor-faktor selain pemahaman kode etik justru mempengaruhi konflik peran yang dihadapi oleh akuntan manajemen. Padahal seharusnya ketika ia mengalami konflik peran, akuntan manajemen merujuk pada pemahaman kode etiknya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Peneliti menduga bahwa sosialisasi kode etik di kalangan akuntan manajemen belum menjadi kebiasaan.
3. Pengujian Hipotesis Ketiga
            Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah komitmen organisasional mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio dari hasil pengujiannya adalah 2,69 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh secara signifikan komitmen organisasional terhadap perilaku etis akuntan manajemen. Dengan demikian hipotesis ketiga didukung. Penelitian ini berhasil mengkonfirmasi temuan Oz (2001) yang menyatakan ada hubungan antara komitmen organisasional dan perilaku etis. Karena akuntan manajemen adalah anggota atau pegawai organisasi, maka komitmennya terhadap organisasi akan mempengaruhi perilakunya. Makin tinggi komitmennya, maka makin sadar akuntan manajemen tersebut untuk berperilaku secara etis. Hasil penelitian ini menekankan pentingnya menumbuhkembangkan komitmen akuntan manajemen pada organisasi.
4. Pengujian Hipotesis Keempat
            Hipotesis keempat menyatakan bahwa komitmen organisasional mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio adalah 3,21. Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh secara signifikan komitmen organisasional terhadap konflik peran yang dialami oleh akuntan manajemen. Jika komitmen organisasionalnya lemah maka diduga konflik peran akan terjadi. Koefisien critical ratio yang menunjukkan tanda positif berarti makin tinggi komitmen organisasional maka konflik peran akuntan manajemen juga akan tinggi.
            Penelitian ini berhasil mengkonfirmasi temuan Grover (dalam Grover & Hui, 1994) bahwa pegawai lebih suka berdusta ketika berhadapan dengan dua kepentingan tersebut (profesi dan tempatnya bekerja). Penelitian ini juga berhasil mengkonfirmasi temuan Mathieu dan Zajac (1990) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional berhubungan dengan konflik peran. Komitmen organisasi yang tinggi dapat mengakibatkan setiap individu merasa harus mengabdi pada kepentingan organisasi. Di samping rasa ‘memiliki’ terhadap organisasinya, maka ia merasakan bahwa ada komitmen yang harus juga ia miliki yakni komitmen terhadap profesinya. Di sinilah muncul konflik peran antara memilih mengabdi sepenuhnya ke perusahaan atau juga memperhatikan kepentingan profesi. Dengan kata lain, ia merasa bahwa ketika komitmen organisasi nya tinggi ia justru juga merasakan konflik peran yang tinggi sebagai akuntan. Di satu sisi ia harus mendahulukan kepentingan perusahaan, tapi di sisi lain ia harus menjunjung tinggi profesi nya sebagai akuntan manajemen. Pada saat penelitian ini dilakukan, belum berkembang sertifikasi akuntan manajemen. Dengan adanya sertifikasi akuntan manajemen diharapkan lebih mempunyai wawasan untuk menjaga nilai-nilai profesionalitasnya.
5. Pengujian Hipotesis Kelima
            Hipotesis kelima dari penelitian ini adalah prinsip moral mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio adalah -0,382 sehingga hasilnya adalah prinsip moral mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Dengan demikian, hipotesis kelima tidak didukung. Temuan ini sama dengan yang diperoleh Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) dan gagal mendukung temuan Yetmar dan Eastman (2000). Peneliti menduga bahwa prinsip moral tidak mempengaruhi perilaku etis akuntan manajemen karena ia merasa bahwa perilaku etis lebih banyak disebabkan oleh faktor situasional dan individu yang terlibat.
6. Pengujian Hipotesis Keenam
            Hipotesis yang diajukan adalah prinsip moral mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen. Dari hasil pengujian yang dilakukan nilai Critical Ratio adalah 1,00. Hasil ini menunjukkan bahwa prinsip moral yang sifatnya idealisme tidak mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen. Dengan demikian, hipotesis keenam tidak didukung. Penelitian ini gagal mengkonfirmasi temuan penelitian Yetmar, Cooper dan Frank (1999) bahwa prinsip moral juga merupakan penyebab dari konflik peran seseorang. Jika prinsip moral yang ia yakini berbeda dengan apa yang dilakukan maka konflik peran yang dirasakan makin tinggi.
            Dugaan peneliti, hipotesis keenam yang tidak didukung ini karena akuntan manajemen merasa bahwa prinsip moral yang diyakini bukan penyebab dari situasi konflik peran yang dialaminya. Prinsip moral yang sifatnya idealis bukan merupakan faktor penyebab dari konflik peran yang dialaminya, tapi mungkin lebih mengarah pada faktor situasional. Faktor situasional dalam konteks penelitian ini adalah keadaan senyata nya yang dihadapi oleh akuntan manajemen.
7. Pengujian Hipotesis Ketujuh
            Hipotesis yang diajukan adalah model peran mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Nilai critical ratio dari pengujian hipotesisnya adalah 2,81. Ini berarti bahwa model peran mempengaruhi secara signifikan perilaku etis akuntan manajemen. Hasil ini membuktikan bahwa perilaku akuntan manajemen sangat ditentukan seberapa baik pimpinan bisa menjadi panutan bagi pegawai khususnya akuntan. Akuntan akan berperilaku etis jika pimpinan memberi suri tauladan. Pada masyarakat paternalistik seperti di Indonesia, temuan penelitian ini menunjukkan besarnya pengaruh tokoh panutan terhadap perilaku pengikutnya. Penelitian ini berhasil mengkonfirmasi Jones dan Kavanagh (dalam Kantor dan Weisberg, 2002) yang juga menunjukkan bahwa tokoh panutan atau model peran berpengaruh terhadap tindak tanduk atau perilaku pegawai.
8. Pengujian Hipotesis Kedelapan
            Hipotesis kedelapan yang diajukan adalah model peran mempengaruhi secara signifikan konflik peran akuntan manajemen. Pengujian hipotesis yang dilakukan menunjukkan nilai Critical Ratio sebesar -5,918. Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh secara signifikan model peran terhadap konflik peran. Dengan demikian hipotesisnya didukung. Jika tokoh panutan akuntan manajemen tersebut menjadi lebih baik, maka konflik peran yang dirasakan makin rendah. Tapi sebaliknya jika persepsi atau pandangan akuntan manajemen tersebut terhadap tokoh panutannya kurang, maka konflik peran yang dirasakan oleh akuntan manajemen tersebut akan tinggi. Penelitian ini berhasil mengkonfirmasi tentang pentingnya tokoh panutan (role model) dalam organisasi sehingga pegawai dapat tetap meminimalkan konflik peran yang dirasakannya.
            Penelitian ini berhasil mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya (Sims dan Brinkman, 2002) yang menyatakan bahwa jika pimpinan memberi arahan yang jelas tentang apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan maka konflik peran dalam organisasi akan berkurang. Begitu pula temuan penelitian Behrman dan Perrault; Fry et al. (dalam Rebele dan Michaels, 1990) yang menyimpulkan bahwa perilaku pimpinan (role model) mempengaruhi konflik peran.
9. Pengujian Hipotesis Kesembilan
            Hipotesis kesembilan yang diajukan dalam penelitian ini adalah perilaku etis mempengaruhi secara signifikan kepuasan kerja akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio dari pengujian yang dilakukan menunjukkan nilai 3,64. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh secara signifikan perilaku etis terhadap kepuasan kerja akuntan manajemen. Hasil ini konsisten dengan temuan Koh dan Boo (2001) yang menguji keterkaitan etika dan kepuasan kerja. Penelitian ini membuktikan bahwa kepuasan kerja dapat muncul karena aspek non keuangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa jika akuntan manajemen mampu menjaga perilaku etisnya, maka kepuasan kerjanya semakin tinggi. Dengan demikian kinerja seorang akuntan manajemen dapat didorong tidak hanya melalui insentif yang sifatnya keuangan tapi juga dari lingkungan kerja yang kondusif yang salah satunya ditunjukkan oleh perilaku secara etis.
10. Pengujian Hipotesis Kesepuluh
            Hipotesis yang kesepuluh menyatakan bahwa konflik peran mempengaruhi secara signifikan kepuasan kerja akuntan manajemen. Nilai Critical Ratio dari pengujian hipotesisnya adalah -1,89 sehingga hipotesis kesepuluh tidak didukung. Temuan penelitian ini berarti bahwa konflik peran yang dirasakan oleh akuntan manajemen tidak mempengaruhi kepuasan kerjanya. Temuan penelitian ini gagal mengkonfirmasi temuan Fisher (2001), Pasewark dan Strawser (1996). Penyebabnya menurut dugaan peneliti adalah adanya variabel lain yang memediasi hubungan antara konflik peran dan kepuasan kerja akuntan manajemen seperti yang ditemukan oleh Fogarty et al.(2000).
            Penyebab lain gagalnya hipotesis yang kesepuluh ini seperti yang diungkapkan oleh Puspa (1998) bahwa konflik peran yang dialami oleh akuntan manajemen merupakan konsekuensi dari jabatannya sebagai akuntan manajemen, dan juga kepuasan kerja yang sifatnya self-rating akan menghasilkan subyektivitas yang tinggi sehingga akan lebih baik pengukuran kepuasan kerja ditambah dengan ukuranukuran lain yang akan menjamin obyektivitas jawaban responden.
KESIMPULAN
            Penelitian ini mencoba mengembangkan suatu model keterkaitan antara faktor-faktor organisasional (model peran, pemahaman kode etik dan komitmen organisasional) dan faktor-faktor individual yakni prinsip moral dan hubungannya dengan konflik peran, perilaku etis dan kepuasan kerja akuntan manajemen. Penelitian ini menggunakan 119 responden (response rate 23,8%) yang diperoleh secara purposive untuk kepentingan penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah pengujian model dan uji hipotesis dengan menggunakan software AMOS. Dari model yang diajukan indikator fit dari suatu model memang relatif kurang memuaskan, namun penelitian ini berhasil mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran dan perilaku etis akuntan manajemen dan kepuasan kerja. Pemahaman kode etik, komitmen organisasional dan model peran mempengaruhi perilaku etis akuntan manajemen. Sedangkan prinsip moral tidak mempengaruhi perilaku etis akuntan manajemen.
            Sedangkan pemahaman kode etik, prinsip moral tidak mempengaruhi secara signifikan konflik peran. Faktor-faktor komitmen organisasional dan model peran yang justru mempengaruhi konflik peran. Sedangkan perilaku etis mempengaruhi kepuasan kerja sedangkan konflik peran tidak mempengaruhi kepuasan kerja akuntan manajemen.