Jurnal Review
PILIHAN HUKUM PARA PIHAK
DALAM
SUATU KONTRAK DAGANG
INTERNASIONAL
( Suatu Tinjauan Terhadap
Pembatasnya )
Tjip Ismail
Abstrak
Technological Progress and the communications result economic activity
shall no longer circles by State boundary. Phenomenon Regionalism that happened
in various world cleft these days, like ASEAN or Uni Europe
bornedly it transactionof so-called by e-commerce. International trade
have become backbone for State to become prosperous, secure and prosperous and
the strength. Defrayal of International trade by letter L/C or organizable
except that by other law system
Keyword : Punish, Contract Trade, International
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan arus globalisasi, perdagangan internasional merupakan
bidang yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum pun cukup luas.
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak
jenisnya, dari bentuk yang sederhana, yaitu barter, jual-beli barang atau
komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan dan sejenisnya) hingga hubungan
atau transaksi-transaksi dagang yang kompleks. Hal ini disebabkan oleh adanya
jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi dagang
semakin berlangsung cepat.
Batas-batas Negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan
dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui
atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain.
Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. Perdagangan internasional
sudah menjadi tulang punggung bagi Negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan
kuat. Hal ini sudah terbukti dalam perkembangan dunia1.
Kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak
lagi terkungkung oleh batas-batas Negara. Fenomena regionalisme yang terjadi di
berbagai belahan dunia dewasa ini, seperti ASEAN atau Uni Eropa. Para pihak
sebelum menutup suatu perjanjian dagang, perlu bersikap hati-hati terhadap
calon mitra dagang, substansi perjanjian, hak dan kewajiban, resiko, pilihan
hukum dan forum penyelesaian sengketa2.
Perdagangan internasional umumnya menggunakan dua atau lebih sistem
hukum pemerintahan. Pembeli ataupun penjual mungkin melakukan fungsinya di
bawah dua sistem hukum yang berbeda. Perusahaan ekspedisi yang mengangkut
barang-barang dan kontrak asuransi kelautan yang menjamin pelayaran dan muatan
mungkin diatur oleh sistem hukum yang terpisah. Pembiayaan perdagangan
internasional dengan Surat L/C atau kalau tidak dapat diatur oleh sistem hukum
yang lain. Ketika timbul perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian
perselisihan mereka dengan menggunakan peradilan dari yurisdiksi yang dipilih.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah
ditarik pokok permasalahan yang dapat dianalisis sehingga dapat menjawab
pertanyaan ini, yaitu bagaimanakah choice
of law by the parties (party autonomy),
dikaitkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu dalam suatu kontrak?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui choice of law
by the parties (party autonomy),
dikaitkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu dalam suatu kontrak.
BAB II PILIHAN HUKUM DALAM SUATU KONTRAK DAGANG
A. Istilah dan Prinsip Pilihan Hukum
Pilihan hukum hanya dibenarkan dalam
bidang hukum perjanjian. Tidak dapat diadakan pilihan hukum di bidang hukum
kekeluargaan misalnya3.
Masalah pilihan hukum yang akan
diberlakukan atau diterapkan adalah salah satu masalah yang penting dalam suatu
kontrak perdagangan internasional. Istilah-istilah pilihan hukum dalam bahasa
lain antara lain adalah: Partij
autonomie,autonomie des parties (Perancis), intension of the parties (Inggris) atau (choice of law). Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk
melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk
kontrak mereka. Para pihak dapat memilih hukum tertentu4.
Pilihan hukum merupakan hukum mana
yang akan digunakan dalam pembuatan suatu kontrak5. Para pihak yang
mengadakan perjanjian dagang berhak melakukan kesepakatan tentang pilihan hukum
(choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) yang berlaku bagi
perjanjian tersebut. Pilihan hukum (choice
of law) menentukan hukum yang berlaku (governing
law), demikian pula, pilihan forum arbitrase (arbitrase clause) menentukan jurisdiksi forum penyelesaian sengketa6.
Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan
peradilan untuk:7
−
menentukan keabsahan suatu kontrak dagang,
−
menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak,
−
menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi
(pelaksanaan suatu kontrak dagang),
−
menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap
kontrak.
Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum.
Hukum-hukum tersebut adalah: hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa
(applicable substantive law atau lex causae) dan hukum yang akan berlaku
untuk persidangan (procedural law).
Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan
para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu
Negara tertentu. Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan
nasionalitas salah satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa
ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai
salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya
mencari hukum nasional yang relative lebih netral. Alternatif lainnya yang
memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah menerapkan
prinsip-prinsip kepatuhan dan kelayakan (ex
aequo et bono) namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan
pada kesepakatan para pihak8.
Pilihan hukum sekarang ini sudah umum diterima dalam kontrak-kontrak
perdagangan internasional, baik oleh negara-negara barat dengan sistem
kapitalisme liberal yang menerima pilihan hukum ini, juga negara-negara
sosialis.
B. Macam-macam Pilihan Hukum
Terdapat 4 (empat)
macam cara dalam memilih hukum yang akan dipakai dalam hukum perdagangan
internasional (HPI) yaitu:
1.
pilihan hukum secara tegas,
2.
pilihan hukum secara diam-diam,
3.
pilihan hukum secara dianggap, dan
4.
pilihan hukum secara hipotesis.
Ad. 1.
Pilihan hukum secara tegas
Pilihan hukum secara
tegas ini, dapat kita lihat dalam klausula-klausula kontrak joint venture, management contract atau technical
assistant contract, di mana para pihak yang mengadakan kontrak secara tegas
dan jelas menentukan hukum mana yang mereka pilih. Hal tersebut biasanya muncul
dalam klausul goverling law atau applicable law yang isinya berbunyi: “this contract will be governed by the law
of the Republic of Indonesia” atau the
agreement shall be governed by and construed in all respects in accordance with
the law of England.
Sebagai contoh adalah
kontrak-kontrak yang dibuat Pertamina mengenai LNG salses contract dari 3
Desember 1973, dalam pasal 12 dinyatakan bahwa: this contract shall be governed by and interpreted in accordance with
the law of the State of New York, United States of America”. Pilihan
hukumnya adalah Negara bagian New York, merupakan hal yang tepat karena Amerika
Serikat tidak mengenal hukum perdata untuk Negara Federasi Amerika Serikatnya,
tetapi tiap-tiap Negara bagian mempunyai hukum perdatanya sendiri yang
masing-masing berbeda.
Jadi di dalam pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, pilihan hukum
dinyatakan dengan kata-kata yang menyatakan pilihan hukum tertentu dalam
kontrak tersebut. Bilamana hakim dalam menentukan hukum mana yang harus berlaku
dalam kontrak tersebut, hakim akan menggunakan pilihan hukum sebagai titik taut
penentunya9.
Ad. 2.
Pilihan hukum secara diam-diam.
Untuk mengetahui adanya pilihan
hukum tertentu yang dinyatakan secara diam-diam, dapat disimpulkan dari maksud
atau ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu kontrak.
Fakta-fakta yang berkaitan dengan kontrak tersebut, misalnya bahasa yang
dipergunakan, mata uang yang digunakan, gaya atau style Indonesia.
Kesimpulan ini adalah tafsiran hakim
atau pengadilan. Dalam kenyataannya mungkin saja para pihak tidak bermaksud
seperti yang disimpulkan pengadilan tersebut10.
Ad. 3.
Pilihan hukum secara dianggap
Pilihan hukum secara dianggap ini
hanya merupakan presumption iuris, suatu dugaan hukum. Hakim menerima telah
terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka, Pada pilihan hukum demikian
tidak dapat dibuktikan menurut saluran yang ada. Dugaan hakim merupakan
pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar
telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu.
Ad. 4.
Pilihan hukum secara hipotesis
Pilihan hukum secara hipotesis ini
dikenal terutama di Jerman. Sebenarnya di sini tidak ada kemauan dari para
pihak untuk memilih sedikitpun. Hakim yang melakukan pilihan hukum tersebut.
Hakim bekerja dengan fiksi, seandainya para pihak telah memikirkan hukum mana
yang dipergunakan, hukum manakah yang dipilih mereka dengan cara
sebaik-baiknya, jadi, sebenarnya tidak ada pilihan hukum bagi para pihak. Hakim
yang menentukan pilihan hukum tersebut.
Banyak kalangan tidak menerima
pilihan hukum secara dianggap, apalagi pilihan hukum secara hipotesis. Oleh
karena itu sebaiknya yang digunakan hanyalah pilihan hukum secara tegas atau
pilihan hukum secara diam-diam.
Permasalahan yang akan timbul
sehubungan dengan terjadinya perselisihan yang berkenaan dengan kontrak-kontrak
itu tidak memuat klausula mengenai governing
law atau applicable law. Selain
itu tidak selamanya kontrak dagang internasional dibuat secara tertulis. Dalam
keadaan demikian tentunya tidak akan ada pula pilihan hukumnya. Berdasarkan
hukum mana hakim harus mengadili perkara yang bersangkutan atau hukum mana yang
seharusnya berlaku bagi kontrak-kontrak itu, hakim dapat menggunakan bantuan
titik pertalian atau titik taut sekunder lainnya, yaitu tempat
ditandatanganinya kontrak atau tempat dilaksanakannya kontrak.
BAB III PEMBATASAN-PEMBATASAN DALAM PILIHAN HUKUM
Pilihan hukum, walaupun sudah dapat
diterima secara umum, namun masih dipersoalkan mengenai batas-batas wewenang
untuk memilih hukum ini. Ada batas-batas tertentu untuk kelonggaran memilih
hukum ini. Persoalan yang dihadapi adalah, seberapa jauh diperkenankan pilihan
hukum ini, apakah dapat diberlakukan seluas-luasnya, atau dibatasi. Pada
prinsipnya para pihak memang bebas untuk melakukan pilihan hukum yang mereka
kehendaki, tetapi kebebasan ini bukan berarti sewenang-wenang.
Adapun batasan-batasan terhadap
pilihan hukum adalah sebagai berikut: pilihan hukum hanya boleh dilakukan
sepanjang tidak melaggar apa yang dikenal sebagai “ketertiban umum” (public policy), pilihan hukum tidak
boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum, pilihan hukum dibatasi oleh sistem
hukum tertentu yang memaksa (dwingen
recht)11.
A. Pilihan Hukum Tidak Melanggar Ketertiban Umum
Persoalan pilihan hukum mempunyai
hubungan erta dengan masalah ketertiban umum. Pilihan hukum diperkenankan
berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun kebebasan tidak berarti tidak ada
batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum (public policy)12.
Ketertiban umum merupakan suatu rem
darurat yang dapat menghentikan diperlakukannya hukum asing. Juga ketertiban
umum merupakan suatu rem darurat terhadap pemakaian otonomi para pihak secara
terlampau leluasa. Ketertiban umum menjaga bahwa hukum yang telah dipiih oleh
para pihak adalah tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi dalam hukum dan
masyarakat sang hakim13. Pemakaiannya juga harus secara hati-hati
dan seirit mungkin, karena apabila terlalu cepat menggunakan rem darurat ini,
maka hukum perdagangan internasional juga tidak dapat berjalan dengan baik.
Sebaliknya, jika terlalu banyak mempergunakan lembaga ketertiban umum, berarti
kita akan selalu memakai hukum nasional kita sendiri, padahal hukum perdata
internasional kita sudah menentukan dipakainya hukum.
Konsep ketertiban umum berlainan di
masing-masing Negara. Ketertiban umum terikat pada tempat waktu. Jika situasi dan
kondisi berlainan, paham ketertiban umum juga berubah. Public policy juga
mempunyai hubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh
dikatakan bahwa pembuat kebijakan memegang peranan yang penting dalam
ketertiban umum ini14.
Sesuai dengan prinsip hukum yang
universal dan sangat mendasar pula bahwa dikalahkan oleh kepentingan pribadi,
oleh karena itu, jika ada kontrak perdagangan yang bertentangan dengan
ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku di suatu Negara15.
B. Pilihan Hukum Tidak Boleh Menjelma sebagai
Penyelundup Hukum
Ada hubungan yang jelas antara
penyelundupan hukum dan pilihan hukum. Pada penyelundupan hukum sang individu
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Pada pilihan hukum
tidak diadakan pilihan antara: mengikuti undang-undang atau mengikuti urusan
yang dibuat sendiri. Pada pilihan hukum, yang dipilih adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi Negara-negara para pihak. Sedangkan
pada penyelundupan hukum yang dipilih adalah titik pertalian yang bersifat
obyektif seperti misalnya kewarganegaraan, domisili, tempat kontrak
dilangsungkan (lex loci contractus),
maupun tempat letaknya benda (lex rei
sitae). Semua titik pertautan ini dipengaruhi oleh para pihak dalam
penyelundupan hukum. Mereka misalnya merubah kewarganegaraan atau memindahkan
tempat barang atau membuat kontrak di tempat lain. Semua ini menunjukkan
perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelundupan hukum16.
Pilihan hukum harus dilakukan secara
bonafid, tidak ada khusus memilih suatu tempat tertentu untuk maksud
menyelundupkan peraturan-peraturan lain. Dengan lain perkataan yang dapat
dipilih adalah hukum yang mempunyai hubungan dengan kontrak.
C. Pembatasan oleh Sistem Hukum Tertentu yang
Memaksa (dwingen recht)
Salah satu pembatasan dalam pilihan
hukum adalah mengenai sistem hukum tertentu yang bersifat memaksa. Para pihak
tidak dapat menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersifat memaksa. Hal ini sudah
umum diterima baik dalam suasana hukum intern maupun internasional17.
Hukum yang memaksa (dwingen recht)
membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum.
Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan ekonomi kehidupan
modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari
penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi18.
D. Kasus-kasus
1. Perkara
Zechav tahun 1935.
Samuel Jones & Co (ekspor ltd)
vs Louis Zecha. Zecha bertempat tinggal di Sukabumi dan berdagang di bawah
merek “Soekaboemische Snelpersdrukkerij” menggugat perusahaan Inggris Samuel
Jones & co. Berkedudukan di London, menuntut supaya dibayar 12 wessel yang
ditarik oleh perusahaan George Mann & Coy Ltd di London. Peralihan wessel
kepada Jones hanya perbuatan pura-pura untuk memudahkan penagihan terhadap
Zecha. Persoalan yang timbal adalah hukum manakah yang harus dipergunakan untuk
endosemen dan cessie yang telah dilakukan. Menurut hakim tingkat pertama,
endosmen yang telah ditarik di London menggunakan bahasa Inggris, juga mata
uang Poundsterling, Berta lex loci
contractusnya adalah di London menurut cara yang berlaku disana. Maka Hakim
beranggapan bahwa untuk endosmen berlaku hukum Inggris. Namun Zecha keberatan
dan berpendaoat bahwa seharusnya bukan hukum Inggris tetapi hukum Indonesia lah
yang dipakai. Pengadilan tinggi juga sependapat, bahwa akta cessie dibuat dalam
bahasa Belanda dan juga isi dari akte, hal ini menunjukkan bahwa para pihak
telah memilih hukum.
Indonesia sebagai sistem hukum yang
harus berlaku. Walaupun cessie dilakukan di London, pengadilan beranggapan
bahwa hukum Indonesia lah yang berlaku, bukan lex loci contractus yang
menentukan, tetapi maksud dari para pihak dan mengakui pilihan hukum sebagai
titik pertalian sekunder untuk kontral hukum perdagangan internasional ini.
2. Kasus
“Treller Nicolas” 1924
Mahkamah Agung Belanda yang memutus
perkara stoomtreiler Nicolaas, yang telah mengasuransikan sejumlah F. 80.000,
untuk perjalanan dari Ijmuiden ke Immingham pulang pergi, asuransi laut ditutup
dengan para tergugat, yaitu NV. Mascapai van Assurantie dan 10 maskapai lainnya
(di antaranya perusahaan Denmark dan Swedia).
Asuransi ini ditutup atas Casco,
ketel, mesin-mesin dan alat perlengkapan kapal tersebut. Dalam perjalanan kapal
ini tenggelam, dan penggugat menuntut pembayaran dari maskapai asuransi yang
tidak mau membayar. Para tergugat yang terdiri dari 11 maskapai asuransi di
mana 6 berkedudukan di Nederland dan berkewarganegaraan Belanda menolak
membayar. Meraka beranggapan bahwa pada saat terjadinya kontrak asuransi, para
pihak menghendaki pemakaian hukum Inggris. Menurut ketentuan dalam kontrak
asuransi, dinyatakan Marine Insurance Act Inggris lah yang berlaku.
Juga segala kondisi dan urgensi dari
polis Llyods Inggris yang dipergunakan, sedangkan polis ini dianggap
seolah-olah ditandatangani di London. Mereka beranggapan bahwa polis
bersangkutan adalah batal menurut hukum Inggris, karena dalam polis memuat
klausula yang melarang hukum Inggris. Dalam klausula ditentukan bahwa tidak diperlukan
pembuktian lain mengenai kepentingan nilai atau anggaran kapal yang ditentukan
dalam polis tersebut. Klausula ini dianggap bertentangan dengan sectie 4 Marine
Insurance Act 1906 yang menetapkan bahwa tiap perjanjian asuransi yang bersifat
“perkiraan” adalah batal menurut hukum Inggris, karenanya mereka menolak untuk
membayar kepada pihak penggugat.
Sedangkan penggugat beranggapan
bahwa, walaupun perjanjian bersangkutan pada umumnya berlakuhukum Inggris, hal
ini dimungkinkan pula bahwa untuk hal yang khusus dalam klausul ini berlaku
hukum Belanda, karena polis asuransi ditandatangani di Nederland dan 6 dari 11
perusahaan asuransi berkedudukan di Nederland serta berstatus warga Negara
Belanda. Tidak perlu seluruh perjanjian tunduk pada satu macam hukum saja,
yaitu hukum Inggris, tapi dimungkinkan pula bahwa sebagian lagi, yaitu
perjanjian asuransi diatur oleh hukum Belanda.
Oleh Mahkamah Agung Belanda
dipertimbangkan bahwa menurut hukum belanda, para pihak tidak diwajibkan untuk
mengatur seluruh bagian perjanjian mereka oleh hanya satu macam hukum serta
kaidah-kaidah yang memaksia dari suatu hukum asing juga tidak perlu diperlukan
jika para pihak tidak menghendaki diberlakukannya kaidah memaksa ini walaupun
merkea telah menerima berlakunya hukum asing bersangkutan, perjanjian asuransi
bersangkutan tidak batal. Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menerima prinsip
pilihan hukum oleh para pihak dalam keputusan ini dengan
pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh dikatakan bahwa pembuat kebijakan
memegang peranan yang penting dalam ketertiban umum ini.
KESIMPULAN
Batas-batas Negara bukan lagi
halangan dalam bertransaksi. Kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan
aktivitas ekonomi tidak lagi terkungkung oleh batas-batas Negara. Para pihak
sebelum menutup suatu perjanjian dagang, perlu bersikap hati-hati terhadap
calon mitra dagang, substansi perjanjian, hak dan kewajiban, resiko, pilihan
hukum dan forum penyelesaian sengketa. Para pihak yang mengadakan perjanjian
dagang berhak melakukan kesepakatan tentang pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Ketika
timbul perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan
mereka dengan menggunakan peradilan dari yurisdiksi yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU:
Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2005
_____, Hukumerekonomian Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
cet. 1, 2005
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku
Kelima Jilid Kedua (Bagian Keempat),
Bandung: Penerbit Alumni, 1998
_____, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Penerbit Binacipta,
cet. Ke-5, 1987
H.S, Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, cet. Ke-3 2006
Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Perdata Internasional,
Jogyakarta: FH UII Press, Cet. 1, 2007
Internet:
Wibowo, Basuki Rekso, Kompetensi Peradilan Umum Terhadap Putusan
Arbitrase, library@lib.unair.ac.id, 1 Januari 1999
Catatan Kaki:
1.
Huala Adof, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cet. 1, 2005, hlm 2
2.
Huala Adof, Hukum Perekonomian
Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2005, hlm 1
3.
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum
Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Penerbit Binacipta, cet. Ke-5,
1987, hlm. 204
4.
Ibid. Hlm 168
5.
Salim S. Hukum Kontrak, Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, cet. Ke-3 2006,
hlm. 106
6.
Basuki Rekso Wibowo, Kompetensi
Peradilan Umum Terhadap Putusan Arbitrase, librari@lib.unair.ac.id, 1 Januari 1999
7.
Adolf, Hukum Perdagangan
Internasional, hlm. 214
8.
Ibid., hlm. 215
9.
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Perdata Internasional, Yogyakarta: FH UII Press, cet. 1, 2007 hlm 131
10.
Ibid., hlm 134
11.
Gautama, Op.Cit., hlm. 171
12.
Khairandy, Op.Cit, hlm. 130
13.
Gautama, Op.Cit., hlm 172
14.
Ibid. Hlm 135
15.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 82
16.
Ibid., hlm. 84
17.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata
Internasional Indonesia, Buku Kelima Jilid Kedua (BagianKeempat), Bandung: Penerbit Alumni, 1998
18.
Khairandy, Op.Cit., hlm. 86
Nama kelompok :
1) Daniel Anugrah Wibowo
2) Deden Muhammad
3) Nur Rachman I.E.W
4) Peter Burju
5) Rahman Hidayah
6) Sulung Panji