Jurnal Review
DR.
RIDWAN KHAIRANDY, SH, MH
TIGA PROBLEMA HUKUM DALAM
TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI EKONOMI
Abstrak
There are three legal problems in relation to
activities of international business transaction namely jurisdiction or competency
of a certain court, choice of law, and implementation of the verdict of foreign
court. The three problems may be caused by legal system differences amongst
businesses country in addtition to certain political reasons of developed
country to insist on developing country in acceptance of their main
arrangements and rules of trading for their benefit.
This trend of
international transaction seems to provoke an emerging thought that views
trading liberalization as a neo-imperialism in its new format upon developing
country. Dilemma of developing country is in one hand when they fight to
globalization stream it means that they will be alienated or isolated, in other
hand when they follow the globalization stream it means that they accept risk
of asymmetry in trading causingof economy disaster for developing country. The
catastrophe face by developing country is caused by legal, political, and
economy infrastructures are unready yet to deal with
globalization.
Ada tiga problema hukum terkait dengan kegiatan transaksi
perdagangan internasional yaitu masalah kompetensi lembaga hukum yang berwenang
atau yurisdiksi, masalah hukum mana yang akan dipilih, dan masalah implementasi
atau pelaksanaan putusan pengadilan asing. Ketiga masalah tersebut bisa terjadi
akibat adanya perbedaan sistem hukum dari negara para pelaku bisnis disamping
juga alasan-alasan politik tertentu dari negara-negara maju untuk memaksa
negara-negara berkembang menerima begitu saja aturan-aturan main dalam
transaksi bisnis internasional yang menguntungkan mereka.
Kecenderungan inilah tampaknya yang mendorong munculnya
penilaian bahwa liberalisasi perdagangan tidak lebih merupakan bentuk
penjajahan baru negara-negara maju atas negara-negara berkembang. Dilema bagi
negara berkembang ialah jika melawan arus globalisasi perdagangan risikonya
adalah terasing atau terkucilkan, sedangkan juga mengikuti arus globalisasi
berarti menghadapi masalah ketimpangan perdagangan yang akan menciptakan
malapetaka ekonomi bagi negara-negara berkembang. Malapetaka terjadi karena
negara berkembang secara infrastruktur hukum, politis dan ekonomis sangat tidak
siap menghadapi globalisasi.
A. Pendahuluan
Transaksi bisnis internasional pada dasarnya adalah
transaksi yang berkaitan dengan kegiatan komersial yang melintas batas negara
yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang berasal dari dua atau lebih
sistem hukum yang berbeda. Adanya perbedaan sistem hukum tersebut dapat terjadi
karena adanya perbedaan kewarganegaraan individu atau juga perbedaan kebangsaan
perusahaan atau badan hukum yang melakukan transaksi tersebut. Transaksi bisnis
ini merupakan bagian dari hukum perdata internasional (private international law). Ada tiga problema hukum yang harus
dicermati dan diantisipasi baik oleh pelaku bisnis internasional sendiri,
notaris, maupun para penegak hukum seperti pengacara dan hakim. Tiga persoalan
pokok tersebut adalah:1
1. Lembaga mana yang memiliki
kewenangan (kompetensi atau yurisdiksi) jika terjadi perselisihan di antara
pihak-pihak yang mengadakan transaksi;
2. Hukum yang diberlakukan
terhadap transaksi bisnis internasional; dan
3. Pengakuan dan pelaksanaan
putusan pengadilan asing.
B. Yurisdiksi Pengadilan dan
Arbitrase
Yurisdiksi
pengadilan di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk
memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk
diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum
asing yang relevan.
Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara
internasional, pengadilan suatu negara (propinsi atau negara bagian dalam
sistem hukum negara federal) harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak
atau harta kekayaan yang dipersengketakan.
Di dalam sistem common
law, terdapat beberapa kategori yurisdiksi pengadilan. Jika suatu gugatan
berkaitan dengan hak-hak atau kepentingan-kepentingan semua orang mengenai
suatu hal atau benda, pengadilan dapat secara langsung menjalankan kekuasaannya
terhadap suatu hal atau benda tersebut meskipun pengadilan mungkin tidak
mempunyai yurisdiksi terhadap orang-orang yang dan kepentingannya tersebut
terpengaruh. Yurisdiksi pengadilan semacam ini disebut yurisdiksi in rem.2 Tujuan utama gugatan
dalam in rem adalah memenangkan
gugatan mengenai res (benda).3
Yurisdiksi pengadilan didasarkan pada lokasi atau tempat objek yang terletak di
dalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi.4
Jika gugatan dimaksudkan untuk meminta tanggung jawab
seseorang atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, pengadilan
memberlakukan yurisdiksi in personam
dan gugatan tersebut merupakan gugatan in
personam.5
Di dalam Hukum
Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia yang pengaturannya terdapat Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
dan Rechtsreglement Buitengewesten
(Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan
(yurisdiksi) pengadilan Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang
mengandung elemen asing.
Menurut Pasal
118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada pengadilan
negeri di tempat terguggat bertempat tinggal (woonplaats) atau jika tidak diketahui tempat tingalnya, tempat
sebenarnya ia berada (werkelijk verbliff).
Kemudian jika
tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah
suatu pengadilan negeri, menurut pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada
pengadilan negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal.
Menurut
Sudargo Gautama, ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang
bersifat HPI terdapat dalam pasal 118 ayat (3) HIR.6 Jika tergugat
tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya
tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat
penggugat (forum actoris). Kemudian
apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap),
gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di mana benda tetap itu terletak (forum rei sitae).
Di dalam Pasal
118 ayat (4) terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa jika terdapat pilihan
domisili, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih
tersebut.
Di dalam
yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara dimana tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah
dilakukan.7
Berkenaan
dengan hal ini bisa dikaji ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 sub 8 Reglement op de Burgerlijk Rechtsverordering
(RV)8 mengenai Dagvaarding
yang harus disampaikan kepada pihak tergugat yang bertempat tinggal di luar
Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di
Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat
pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan
kata-kata geizen dan
menandatanganinya serta menyerahkan salinan
ekspolit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.9
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus
dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama
didasarkan pada asas the basis of
presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara
teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah
negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat
dan staf diplomatik.10
Selain itu, principle of effectiveness juga memegang
peranan penting, disamping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan
sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektifitas
berarti, bahwa pada umumnya hakim hanya akan memberi putusan yang pada
hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak. Tentunya yang paling terjamin apabila
gugatan diajukan dihadapan pengadilan dimana pihak tergugat (dan
benda-bendanya) berada.11
Masing-masing
negara memiliki hukum acara. Hukum acara ini terkadang memiliki persamaan,
tetapi terkadang juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan ini
banyak dipengaruhi tradisi hukum yang diikuti kondisi masyarakat dan sejarah
hukum negara yang bersangkutan.
Untuk
mengantisipasi berbagai kesulitan yang mungkin timbul di kemudian hari, sejak
awal permasalahan ini diselesaikan dengan merumuskan klausul pilihan yurisdiksi
(choice of jurisdiction) atau pilihan
forum (choice of forum) di dalam
kontrak bisnis yang bersangkutan. Pilihan yurisdiksi ini bermakna bahwa, para
pihak di dalam kontrak sepakat memilih forum atau lembaga yang akan
menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak.
Pilihan
yirusdiksi ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari para
pihak yang mengadakan transaksi. Pilihan yurisdiksi ini juga dapat merujuk
kepada satu lembaga arbitrase di negara tertentu yang dilaksanakan di negara
tertentu.
Pada umumnya
para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka bisa
menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih hakin lain. Namun demikian,
tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang
bilamana menurutkaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan hakim tidak
berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih hakim jika menurut
hukum Belanda sama sekali tidak ada hakim Belanda yang relatif berwenang
mengadili perkara itu.12
Menurut Convention on the Choice of Court 1965,
pilihan forum tidak berlaku bagi status atau kewenangan orang atau badan hukum
keluarga, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang
tua dan atau antara suami dan istri; (1) permasalahan alimentasi yang tidak
termasuk dalam butir 1; (2) warisan; (3) kepailitan; dan (4) hak-hak atas benda
tidak bergerak.13
Salah satu
pilihan yurisdiksi tersebut dapat dilihat dalam klausula pilihan yurisdiksi
yang terdapat dalam salah satu perjanjian kerjasama usaha patungan (joint venture agrement): Disputes. All disputes, controversies or
differences which may arise between the parties out of or in relation to or in
connection with this agreement, or the breach there of shall be settled by
arbitration in Paris, France, in accordance with the rules of conciliation and
arbritation of the international chamber of commerce at Paris.
Pengadilan
atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya
itu terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara
tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili
perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi
yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan.
Bilamana hakim
yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya
pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk kepada
badan arbitrase lain, tetapi
berlainan kompetensi relatifnya, maka hakim yang bersangkutan harus menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili peradilan tersebut. Misalnya dalam sebuah
kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dan Amerika Serikat di
Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District
of Court di New York. Jika terjadi sengekta antara pihak-pihak, kemudian
pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, maka seharusnya hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara tersebut.
Demikian juga
apabila di dalam kontrak itu para pihak ternyata memilih forum arbitrase di
luar negeri atau di Indonesia14, maka perkaranya tidak dapat
diajukan kepada pengadilan negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.
Di dalam
praktik, walau sudah ada pilihan yurisdiksi yang merujuk kepada suatu lembaga
arbitrase dan dilaksanakan di luar negeri seperti Singapura atau Paris,
seringkali partner atau mitra Indonesia berusaha untuk tidak patuh kepada isi
kontrak yang bersangkutan. Mitra atau pengusaha Indonesia seringkali membawa
perselisihan yang mereka hadapi ke pengadilan negeri di Indonesia, kendati
telah ada pilihan forum. Biasanya pihak pengusaha asing mengajukan eksepsi,
yang isinya menyatakan bahwa pengadilan negeri yang memiliki kompetensi untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan karena telah ada pilihan
forum yang merujuk kepada arbitrase tertentu dan dilaksanakan di luar negeri.
Atas eksepsi
tersebut, putusan pengadilan negeri menunjukkan keragaman. Ada yang menerima
eksepsi tersebut, tetapi juga ada yang menolak eksepsi tersebut. Dengan
ditolaknya eksepsi tersebut, maka hakim melanjutkan untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Praktik di Mahkamah Agung menunjukkan hal
yang berbeda. Mahkamah Agung konsistensi menghormati pilihan yurisdiksi yang
telah ditentukan para pihak.
Pilihan
yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur dalam
konvensi New York tahun 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri (Convention on the Recognition and Enfocement
of Foreign Arbitral Awards). Konvensi tersebut telah diratifikasi
Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34
Tahun 1981.
Oleh karena
itu, badan-badan peradilan di Indonesia seperti juga negara lainnya yang
terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi
mereka.15 Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan
negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di dalam
perjanjian arbitrase.
Di dalam
kontrak-kontrak dagang internasional, terdapat kecenderungan para pihak untuk
memilih arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi. Pilihan tersebut antara lain
didasarkan pada keunggulan atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, antara lain berkenaan dengan:16
1. Kebebasan, kepercayaan dan
keamanan
Arbitrase pada umumnya
dipilih pengusaha, pedagang atau investor karena memberikan kebebasan dan
otonomi yang sangat luas kepada mereka. Selain itu, secara relatif memberikan
rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan kepastian sehubungan dengan sistem
hukun yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan hakim yang berat sebelah
melindungi kepentingan (pihak) lokal dari mereka yang terlibat dalam suatu
perkara.
2. Keahlian arbiter (expertise)
Para pihak seringkali memilih arbitrase karena
mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai
permasalahan yang dipersengketakan dibanding dengan menyerahkan kepada
pengadilan. Mereka dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suat panel
arbitrase yang memiliki keahlian terhadap pokok permasalahan yang
dipersengketakan. Hal tersebut tidak dapat dijamin dalam sistem badan peradilan
umum.
3. Cepat dan hemat biaya
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan,
arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah
daripada proses litigasi di pengadilan. Putusan arbitrase biasanya ditetapkan
bersifat final dan tidak dapat banding.17
4. Bersifat rahasia
Oleh karena arbitrase berlangsung dalam lingkungan
yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase juga bersifat
privat dan tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari
hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat
penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu, hal ini juga dapat melindungi
mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat, seperti kehilangan
reputasi, bisnis dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya, yang dalam proses
ajudikasi publik dapat mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka.
5. Bersifat non precedent
Di dalam sistem hukum yang prinsip preseden (precedent) mempunyai pengaruh penting
dalam pengambilan keputusan mengakibatkan keputusan arbitrase pada umumnya
tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Para pihak khawatir akan menciptakan
preseden yang merugikan, yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingannya di masa
mendatang. Karena itu, untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan
putusan arbitrase yang berbeda sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden.
6. Kepekaan arbitrator
Walaupun para hakim dan arbiter menetapkan ketentuan
hukum untuk membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, dalam hal-hal
yang relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan,
realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya, pengadilan sebagai lembaga
penyelesaian sengketa yang bersifat publik, seringkali memanfaatkan sengketa
privat sebagai tempat untuk lebih menonjolkan nilai-nilai masyarakat.
Akibatnya, dalam penyelesaian sengketa privat, pertimbangan hakim lebih
mengutamakan kepentingan umum. Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan.
Arbiter pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya.
Di dalam praktik, pengusaha asing selain cenderung
memilih hukum negaranya sendiri (pilihan hukum) juga lebih menyukai pilihan
forum arbitrase di luar negeri. Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase
di luar negeri yang demikian itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum
dan pengadilan di negeri berkembang kurang memberikan rasa aman bagi mereka.
Pengusaha asing seringkali khawatir terhadap hukum dan hakim negara berkembang.
Bagi mereka hukum negara berkembang sukar untuk diketahui. Ibarat orang harus
melompat di dalam kegelapan sprong in het
duister atau masuk dalam rimba raya dengan hutan belukar hingga tidak tahu
jalan keluarnya.18 Mereka takut akan hukum yang tidak diketahui
tersebut. Juga ada ketakutan atau keraguan pengadilan atau hakim yang
melaksanakan hukum yang kurang diketahui oleh mereka.
C. Hukum yang Berlaku dan
Kontrak Bisnis Internasional
Mengingat transaksi atau kontrak bisnis mengandung
elemen-elemen asing, maka dalam pelaksanaannya menimbulkan persoalan, hukum
manakah yang berlaku (applicable law)
atas perjanjian atau kontrak tersebut?
Pada prinsipnya hukum yang berlaku di dalam kontrak yang
mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang dikipik seniri oleh para pihak
(pilihan hukum). Jika pilihan hukum tersebut tidak ditemukan dalam kontrak yang
bersangkutan, dapat digunakan bantuan titik-titik taut sekunder lainnya.
Sesuai dengan asas kebebeasan berkontrak, para pihak
dalam suatu perjanjian atau kontrak bebas menentukan isi dan bentuk suatu
perjanjian, termasuk untuk menentukan pilihan hukum.19 Kemudian apa
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang
bagi kedua belah pihak dalam suatu kontrak.20
Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam HPI
berbagai sistem hukum. Ia telah diterima, baik di kalangan akademisi maupun
praktik pengadilan. Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum
dihormati dengan beberapa alasan:21
Pertama,
pilihan hukum sebagaimana maksud para pihak dianggap sangat memuaskan oleh
mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum.
Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik,
karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai
negara.
Kedua, pilihan hukum dalam
kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para pihak
dengan mudah menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut.
Ketiga, akan
memberikan efesiensi, manfaat, dan keuntungan. Pilihan hukum para dilaksanakan
berdasarkan pertimbangan efisiensi. Alasan tersebut memberikan keuntungan untuk
menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum,
dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan
hukum dalam hukum kontrak adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu
alternatif mungkin adalah suat peraturan bersifat memaksa yang relatif
sederhana, seperti menentukan hukum tempat kontrak dibuat. Hal ini akan
menghemat para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jga tidak
terdapat klausul pilihan hukum.
Keempat,
pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para
pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat,
yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan
peraturan yang tidak pasti dalam setiap sistem hukum.
Pilihan hukum para pihak didasarkan pada pertimbangan
bahwa pada prinsipnya seluruh sistem hukum nasional adalah sama dan oleh
karenanya dapat saling dipindahkan. Dalam kontrak internasional, hukum privat
nasional akan diterapkan apabila tidak ada pilihan hukum oleh para pihak atau
mungkin dipindahkan oleh para pihak melalui klausul pilihan hukum kepada hukum
nasional lainnya.22
Pilihan hukum ini sudah umum. Kini orang sudah tidak
meragukan lagi, bahwa para pihak dalam membuat suatu kontrak dapat menentukan
sendiri hukum bagi kontrak yang mereka buat itu.23
Pada dasarnya
para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan:
(1) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum; (2) Pilihan hukum tidak mengenai
hukum yang bersifat memaksa.
Pilihan hukum
diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tidak berarti
tidak ada batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umu (public policy). Hukum yang memaksa (dwingen recht) juga membatasi kebebasan
para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut
ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan
konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta
menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.24
Pilihan hukum
harus secara tegas di dalam kontrak yang bersangkutan. Para pihak secara tegas
dan jelas menentukan hukum mana yang mereka pilih. Hal tersebut biasanya muncul
dalam klausul governing law atau applicable law yang isinya berbunyi:
1. The validity. Construction and performance of this agreement shall be
governed by an interpreted in accordance with the law of Republic Indonesia; atau
2. This agreement shall be governed by and constructed in all respects in
accordance with the law of England.
Keabsahan
suatu kontrak didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian
juga apabila terjadi perselisihan di antara para pihak baik berkenaan dengan
penafsiran maupun pelaksanaan perjanjian, hakim, atau arbiter yang mengadili
perkara tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang dipilih para pihak
tersebut.
Jika pilihan
hukum itu sudah tidak ada, akan timbul sejumlah permasalahan dalam menentkan
hukum yang berlaku. Hakim atau arbiter harus menggunakan teori yang lazim
dikenal dalam HPI. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Lex Loci Contractus; (2) Mail Box Theory dan Theory of Declaration; (30) Lex
Loci Solutionis; (4) The proper Law
of a Contract; (5) Teori Most
Characteristic Connection.
Penentuan
teori mana yang dipakai menimbulkan permasalahan tersendiri. Penggunaan titik
pertalian atau teori tersebut sangat beragam, bergantung pada titik pertalian
mana yang dianut oleh masing-masing kaidah HPI (conflict of law rules) setiap negara. Kaidah HPI Indonesia yang
terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan hukum, maka hukum
yang berlaku merujuk kepada hukum negara tempat dilaksanakannya kontrak.
Untuk
menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul dalam menentukan hukum yang
tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi serta untuk menghindari hukum
yang tidak dikehendaki, pilihan hukum merupakan cara terbaik untuk menentukan
hukum yang berlaku itu.
D. Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing
Sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa pihak asing dalam penentuan klausula pilihan
yurisdiksi dan pilihan hukum umumnya lebih menghendaki pengadilan dan hukum negara
mereka. Jika tidak, mereka bersedia menggunakan hukum Indonesia, tetapi pilihan
yurisdiksinya mengacu kepada pengadilan atau arbitrase asing yang tidak harus
mengacu kepada pengadilan atau arbitrase di negara mereka, yang penting tidak
diadili di Indonesia.
Misalnya dalam
salah satu kontrak bisnis internasional ditentukan klausul sebagai berikut: This contract shall be governed by and
interpreted in accordance with the law of New York, United States of America.
Kemudian pilihan yurisdiksinya juga mengacu kepada pengadilan di negara bagian
New York.
Terhadap
keadaan semacam ini, akan menimbulkan persoalan sehubungan dengan bagaimana
melaksanakan putusan pengadilan tersebut jika yang kalah dalam pengadilan
adalah pengusaha Indonesia. Padahal, yang bersangkutan jelas berdomisili di
Indonesia dan tidak mempunyai harta benda di New York, apakah putusan hakim
tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia? Apakah putusan tersebut dapat
langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia dan apakah hakim
Indonesia terikap pada putusan hakim asing tersebut.
Istilah
pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan
dengan istilah pengakuan (recognition).
Menurut Sudargo Gautama25 pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya
daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti
tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan
dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan
demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat
mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri daripada
melaksanakannya.
Sudah sejak
lama dianut asas bahwa putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat
dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu negara hanya dapat
dilaksanakan di wilayah negaranya saja.26
Di Indonesia
berlaku ketentuan bahwa putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah
Indonesia.27 Putusan hakim asing tidak dapat dianggap sama dan
sederajat dengan putusan hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di
Indonesia. Ketentuan tersebut di atas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan
teritorial (principle of territorial
sovereignty) dimana berdasar asas ini putusan hakim asing tidak dapat
secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri.28
Pada umumnya
putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada
umumnya, karena ada dalam hal tertentu ada putusan hakim yang dapat
dilaksanakan di Indonesia. Pasal 436 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam
hal-hal yang ditentukan oleh pasal 724 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
dan undang-undang lain, putusan-putusan asing tidak dapat dilaksanakan di
Indonesia. Jadi, putusan hakim asing mengenai perhitungan avarai umum (grosse avaraij) terhadap pemilik kapal
atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili
di Indonesia, berdasar ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di
Indonesia.
Berlainan
dengan keputusan pengadilan, umumnya keputusan arbitrase dapat dilaksanakan di
luar negeri. Secara internasional , pengaturan pelaksanaan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing ini diatur dalam Konvensi New York Tahun
1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award), yang mulai berlaku sejak tanggal 7
Juni 1959.
Konvensi New
York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi pemerintah Republik Indonesia
melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi
tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Peratiran Mahkamah Agung Republik
Indonesia (Perma) No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing.
Dalam
perkembangannya, tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar
negeri telah diatur dalam undang-undang, yakni UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Rules yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma No. 1
Tahun 1990. Rules yang menjadi sumber
hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada pasal 436 R.V.
dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatutr dalama
Pasal 195-224 HIR.29 Belakangan didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999.
Menurut Pasal
2 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan
arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan
suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres
No. 34 Tahun 1981.
UU No. 30
Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase internasional. Menurut Pasal 1 angka 9
UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase internasional adalah putusan yang
dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah
hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu lembaga arbitrase atau
arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase internasional.
Di sini yang
menjadi ciri putusan arbitrase asing didasarkan pada faktor wilayah atau
teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik
Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.30
Ciri putusan
arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial, tidak menguntungkan
syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum. Meskipun para pihak
yang terlibat dalam putusan adalah orang-orang Indonesia, dan sama-sama warga
negara Indonesia, juka putusan-putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan
tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.31
Dalam Pasal 66
UU No. 30Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan
hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Putusan itu dijatuhkan oleh
badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara
indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi
internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pelaksanaannya didasarkan atas timbal balik (respriositas);
2. Putusan-putusan arbitrase asing
tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan
hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang;
3. Putusan-putusan arbitrase
asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Di dalam
transaksi bisnis internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau
lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan.
Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum. Ketika negosiasi dilakukan,
permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas pertama.
Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha
Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum
Indonesia dan pengadilan atau arbitrase Indonesia.
E. Penutup
Dalam suatu transaksi perdagangan
internasional, pilihan hukum menjadi sebuah prioritas utama. Hal ini dilakukan
demi melindungi pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak, mencegah
terjadinya ketimpangan keadilan bagi salah satu pihak dalam perjanjian apabila
terjadi suatu perselisihan diantara mereka. Karena setiap negara memberlakukan
sistem hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin untuk
memberlakukan sistem-sistem hukum yang berbeda dalam satu pengadilan.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
ketimpangan dalam perselisihan dalam suatu transaksi perdagangan internasional,
arbitrase merupakan pilihan yang menguntungkan yang umum digunakan oleh para
pengusaha, pedagang, atau investor karena beberapa hal: (1) Memberikan
kebebasan, kepercayaan, dan rasa aman; (2) Arbiter memiliki keahlian terhadap
pokok permasalahan yang dipersengketakan; (3) Pengambilan keputusan yang cepat
dan hemat biaya; (4) Bersifat rahasia untuk melindungi para pihak dari hal-hal
yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat penyingkapan
informasi kepada umum; (5) Arbitrase bersifat non-precedent; (6) Arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap
keinginan, realitas, dan praktek dagang para pihak.
Kewaspadaan dan kecermatan para
pengusaha, pedagang, atau investor sangat dibutuhkan sebelum melakukan sebuah
kontrak atau perjanjian dalam suatu transaksi perdagangan internasional demi
mencegah atau menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat merugikan
mereka di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Freund, O. Khan, General Problem of Private International Law,
A.W. Stijhoff, Leyden, 1976.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Alumni, Bandung, 1978.
________, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1958.
________, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni,
Bandung, 1986.
________, Pengantar Hukum Perdata Internasional,
Badan Pembinaan Hukum Nasional – Binacipta, Bandung, 1987.
Goodpaster, Gary et.al, “Tinjauan terhadap Arbitrase
Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia”, Dalam Felix O. Seobagjo
dan Erman Rajagukguk, eds, Arbitrase di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995.
Harahap, M. Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta,
1991.
Khairandy, Ridwan, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Latip, Yansen Derwanto, Pilihan Hukum dan Pilihan forum dalam
Kontrak Internasional, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2002.
North, P.M. and J.J Pawcett,
Private International Law,
Butterworth, London, 1987.
Siegel, David D, Conflict, West Publishing Co, St. Paul,
Minn, 1982.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum
yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Catatan Kaki
1. P.M. North dan J.J. Pawcett,
Private International Law,
Butterworth, London, 1987, hlm 7. Lihat juga David D. Siegel, Conflict, West Publishing Co, St. Paul,
Minn, 1982, hlm 4.
2. J.G. Casterl, op.cit., hlm 59.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid., hlm 60.
6. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), Alumni, Bandung, 1978, hlm 210.
7. Ibid.,
hlm 211.
8. Ketentuan ini merupakan
reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan
dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah
tidak berlaku lagi. Namun apabila dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan
tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, ketentuan
RV dapat dijadikan pedoman.
9. Sudargo Gautama, op.cit, hlm 211.
10. Ibid.,
hlm 213.
11. Ibid.
12. Ibid.,
hlm 233.
13. Ibid., hlm 234.
14. Misalnya Badan Arbitrase
Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase Syariah Nasional.
15. Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1985, hlm 23.
16. Lebih lanjut lihat Gary
Goodpaster et.al, “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase
Dagang di Indonesia”, dalam Felix O. Seobagjo dan Erman Rajagukguk, eds, Arbitrase di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995, hlm 19-21.
17. Di dalam kasus-kasus yang
sangat rumit, proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase ternyata tidak
lebih cepat dari litigasi di pengadilan. Biayanya terkadang juga lebih tinggi
pula, karena pihak harus membayar arbitrator yang sudah sangat profesional.
18. Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni,
Bandung, 1986, hlm 10.
19. Di dalam hukum kontrak,
kebebasan berkontrak mencakup: (1) kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian; (2) kebebasan untuk memilih dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian; (3) kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa perjanjian yang
akan dibuatnya; (4) kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; (5) kebebasan
untuk menentukan isi perjanjian; (6) kebebasan untuk menerima atau menyimpangi
ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend). Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993, hlm 47.
20. Kebebasan berkontrak
didasarkan pada asas konsensualisme. Asas ini mendasarkan perjanjian pada
kesepakatan (konsensus) para pihak dalam kontrak. Dengan adanya konsensus
tersebut, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat kontrak sebagai
mana layaknya undang-undang (pacta sunt
servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi
hukum bagi mereka (cum nexum faciet
mancipium que, uti linguaamncuoassit, ita jus esto). Asas inilah yang
menjadi kekuatan mengikatnya kontrak (verbindende
kracht van de overeenkomst). Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga
kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. Perhatikah Ridwan Khairandy,
Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm
29.
21. Yansen Derwanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam
Kontrak Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional – Binacipta, Bandung, 1987, hlm 169.
22. Ibid.
23. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional,
Badang Pembinaan Hukum Nasional –
Binacipta, Bandung, 1987, hlm 169.
24. Ibid, hlm 64.
25. Sudargo Gautama, op.cit. ... Buku 8, hlm 278.
26. Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional,
Alumni, Bandung, 1985, hlm 281.
27. Lihat Pasal 436 Reglement op
de Rechtsvordering (R.V) walaupun sebenarnya ketentuan R.V sudah tidak berlaku
lagi di Indonesia, namun oleh karena Herzeine Inland Reglement (HIR) yang
mengatur hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra dan yang sekarang
digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau
mengatur mengenai putusan asing ini, maka ketentuan R.V. tersebut kiranya dapat
dijadikan pedoman.
28. Sudargo Gautama, op.cit. Hukum... Buku 8, hlm 279.
29. M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta,
1991, hlm 437.
30. Ibid., hlm 438.
31. Ibid.
Nama kelompok :
1) Daniel Anugrah Wibowo
2) Deden Muhammad
3) Nur Rachman I.E.W
4) Peter Burju
5) Rahman Hidayah
6) Sulung Panji
No comments:
Post a Comment